Wakil Gubernur Musa Rajekshah menilai maraknya kasus korupsi di Sumatera Utara disebabkan oleh tingginya biaya politik. Untuk itu negara harus memikirkan ulang bagaimana desain keuangan politik yang tepat untuk mencegah terjadinya korupsi.
Hal tersebut ia sampaikan dalam tayangan CNN Indonesia, Jumat (2/6) malam. Video berjudul ‘Sahaja Musa Rajekshah’ tersebut mengulas profil dan pemikirannya sambil mengikuti kegiatan sehari-hari politisi muda tersebut.
Dalam dialognya, pewawancara awalnya memaparkan data KPK tahun 2022 yang mencatat ada 17 kepala daerah di Sumatera Utara yang terjerat kasus korupsi. Ia pun bertanya pandangan sang Wakil Gubernur terkait ini.
“Setelah saya melihat, (akar) korupsi ini ada tiga hal. Pertama, dia tidak tahu, salah tanda tangan, itu juga kan bisa menjadi masalah. Keputusan yang salah, ada penganggaran, akhirnya menyeleweng, korupsi,” urai Ijeck, demikian ia akrab disapa.
“Kedua, nggak tahan godaan. Ini kenapa bisa terjadi karena biaya politik kita terlampau mahal. Memang di negara maju sekalipun ada biaya politik, tapi bukan money politic. Kita biaya politik dan mohon maaf ada juga yang terjadi seperti itu (money politic) di lapangan, yang tidak dibolehkan. Akhirnya biaya politiknya terlampau tinggi”, sambungnya.
Ijeck yang juga seorang pengusaha ini kemudian menguraikan fakta yang terjadi akibat mahalnya biaya politik tersebut. Tidak terhindarkan, pejabat terpilih kerapkali mencari cara bagaimana mengembalikan modal dana besar yang sudah ia keluarkan.
“Apakah semua orang memang niatnya pengabdian? Ada tapi menurut saya nggak semua. Apakah semua orang tak ingin pengembalian? Ada yang tak ingin pengembalian, tapi banyak juga yang ingin pengembalian karena uangnya udah terlampau besar. Terus dia lihat ada celah, ada kesempatan, akhirnya tergoda. Makanya saya bilang yg kedua ini dia tergoda suasana,” ujarnya menimpali.
Dia pun kemudian merinci penghasilan atau gaji sebagai Kepala Daerah. Dimana antara gaji dan operasional yang diterima, dengan beban tanggungjawab sebagai pemimpin masyarakat tidak seimbang. Hal ini juga yang mustinya dipikirkan ulang oleh negara.
“Yang saya maksud ini, honornya kepala daerah itu nggak sesuai. Macam saya aja 7-8 juta sekian per bulan, ada tunjangan biaya operasional tergantung dengan PAD, 0.15 % dari PAD. Gubernur sekitar 9 jutaan per bulan, Bupati lebih rendah lagi, dan itu ada Peraturan Pemerintahnya 0.15 % dari PAD. Dibagi dua (dengan wakil) terserah mau 50:50, 60:40. Kalau saya 60:40, saya 40, Gubernur 60.”
“Dari situ pun nggak cukup. Sementara itu selama menjabat ada lah masyarakat datang, minta bantu… Terus mohon maaf saya bilang waktu itu, saya ini pengusaha dan sampai hari ini masih ada usaha, yang bisa pendapatan lain, tapi apakah semua kepala daerah punya pendapatan lain? Dengan tuntutan sosial yg seperti itu, dengan biaya yang sudah besar dikeluarkan,” katanya.
Dalam wawancara tersebut IIjek sendiri pun tidak menampik sebagi Wakil Gubernur pernah tergoda untuk korupsi, namun ia masih dilindungi iman yang secara alamiah hadir naik turun.
“Pernah, pernah. Ya kita takut juga kan. Kita iman ini kan selamanya gini (naik), kadang iman lagi turun takutnya tergoda. Belum lagi ada tuntutan, pengeluarannya perlu. Makanya saya datang ke KPK waktu itu saya tanya apa barrier gatenya. Saya takut begini besarnya uang yg kita kelola, tangungjawabnya begini besarnya… Ya mau jadi kepala daerah ini konsekuensinya, memang pengabdian. Tapi ke depan negara harus pikirkan bagaimana kepala daerah itu supaya tidak korupsi,” tambah Ijeck.
Menurutnya, negara jangan sampai negara rugi sebab telah mengeluarkan biaya Pilkada yang besar, tapi menghasilkan pemimpin yang korup. Dampaknya rakyat menjadi apatis terhadap negara.
“Karena betapa ruginya negara membuat Pilkada itu ratusan milyar bahkan ada yang triliun, tergantung besar daerahnya. Ternyata belum sampai habis masanya, tertangkap korupsi. Lama-lama rakyat kita pasti akan apatis memilih. Ah siapapun yg kepilih begini-begini juga kok, ah gitu juga kok. Jadi bagaimana semuanya ini supaya tidak terjadi,” pungkasnya.